Peradaban Mesir Kuno menyumbangkan papirus sebagai media tulis menulis. Penggunaan papirus sebagai media tulis menulis ini digunakan pada peradaban Mesir Kuno pada masa wangsa firaun kemudian menyebar ke seluruh Timur Tengah sampai Romawi di Laut Tengah dan menyebar ke seantero Eropa, meskipun penggunaan papirus masih dirasakan sangat mahal. Dari kata papirus (papyrus) itulah dikenal sebagai paper dalam bahasa Inggris, papier dalam bahasa Belanda, bahasa Jerman, bahasa Perancismisalnya atau papel dalam bahasa Spanyol yang berarti kertas.
Tercatat dalam sejarah adalah peradaban Cina yang menyumbangkan kertas bagi Dunia. Adalah Tsai Lun yang menemukan kertas dari bahan bambu yang mudah didapat di seantero China pada tahun 101 Masehi. Penemuan ini akhirnya menyebar ke Jepang dan Korea seiring menyebarnya bangsa-bangsa China ke timur dan berkembangnya peradaban di kawasan itu meskipun pada awalnya cara pembuatan kertas merupakan hal yang sangat rahasia. Pada akhirnya, teknik pembuatan kertas tersebut jatuh ke tangan orang-orang Arab pada masa Abbasiyah terutama setelah kalahnya pasukan Dinasti Tang dalam Pertempuran Talas pada tahun 751 Masehi di mana para tawanan-tawanan perang mengajarkan cara pembuatan kertas kepada orang-orang Arab sehingga pada zaman Abbasiyah, muncullah pusat-pusat industri kertas baik di Bagdad maupun Samarkand dan kota-kota industri lainnya, kemudian menyebar ke Italia dan India, lalu Eropa khususnya setelahPerang Salib dan jatuhnya Grenada dari bangsa Moor ke tangan orang-orang Spanyol serta ke seluruh dunia. Source Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ “Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda radhiallahu ‘anhu), Para ulama semakin langka, dan semakin banyaknya orang bodoh yang berambisi untuk menjadi ulama. Simak risalah ini selanjutnya. Di samping sebagai perantara antara diri-Nya dengan hamba-hamba-Nya, dengan rahmat dan pertolongan-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menjadikan para ulama sebagai pewaris perbendaharaan ilmu agama. Sehingga, ilmu syariat terus terpelihara kemurniannya sebagaimana awalnya. Oleh karena itu, kematian salah seorang dari mereka mengakibatkan terbukanya fitnah besar bagi muslimin. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan hal ini dalam sabdanya yang diriwayatkan Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash, katanya: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعاً يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِباَدِ، وَلَكِنْ بِقَبْضِ الْعُلَماَءِ. حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عاَلِماً اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْساً جُهَّالاً فَسُأِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا “Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673) Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: Asy-Sya’bi berkata: “Tidak akan terjadi hari kiamat sampai ilmu menjadi satu bentuk kejahilan dan kejahilan itu merupakan suatu ilmu. Ini semua termasuk dari terbaliknya gambaran kebenaran (kenyataan) di akhir zaman dan terbaliknya semua urusan.” Di dalam Shahih Al-Hakim diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr secara marfu’ (riwayatnya sampai kepada Rasulullah): “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda datangnya hari kiamat adalah direndahkannya para ulama dan diangkatnya orang jahat.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 60) Meninggalnya seorang yang alim akan menimbulkan bahaya bagi umat. Keadaan ini menunjukkan keberadaan ulama di tengah kaum muslimin akan mendatangkan rahmat dan barakah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Terlebih Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengistilahkan mereka dalam sebuah sabdanya: مَفاَتِيْحُ لِلِخَيْرِ وَمَغاَلِيْقُ لِلشَّرِّ “Sebagai kunci-kunci untuk membuka segala kebaikan dan sebagai penutup segala bentuk kejahatan.” Kita telah mengetahui bagaimana kedudukan mereka dalam kehidupan kaum muslimin dan dalam perjalanan kaum muslimin menuju Rabb mereka. Semua ini disebabkan mereka sebagai satu-satunya pewaris para nabi sedangkan para nabi tidak mewariskan sesuatu melainkan ilmu. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Ilmu merupakan warisan para nabi dan para nabi tidak mewariskan dirham dan tidak pula dinar, akan tetapi yang mereka wariskan adalah ilmu. Barangsiapa yang mengambil warisan ilmu tersebut, sungguh dia telah mengambil bagian yang banyak dari warisan para nabi tersebut. Dan engkau sekarang berada pada kurun (abad, red) ke-15, jika engkau termasuk dari ahli ilmu engkau telah mewarisi dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ini termasuk dari keutamaan-keutamaan yang paling besar.” (Kitabul ‘Ilmi, hal. 16) Dari sini kita ketahui bahwa para ulama itu adalah orang-orang pilihan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: ثُمَّ أَوْرَثْناَ الْكِتاَبَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْناَ مِنْ عِباَدِناَ “Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba kami.” (Fathir: 32) Ibnu Katsir rahimahullah menyatakan: Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Kemudian Kami menjadikan orang-orang yang menegakkan (mengamalkan) Al-Kitab (Al-Quran) yang agung sebagai pembenar terhadap kitab-kitab yang terdahulu yaitu orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, mereka adalah dari umat ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/577) Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: “Ayat ini sebagai syahid (penguat) terhadap hadits yang berbunyi Al-’Ulama waratsatil anbiya (ulama adalah pewaris para nabi).” (Fathul Bari, 1/83) Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah mengatakan: Maknanya adalah: “Kami telah mewariskan kepada orang-orang yang telah Kami pilih dari hamba-hamba Kami yaitu Al-Kitab (Al-Qur’an). Dan Kami telah tentukan dengan cara mewariskan kitab ini kepada para ulama dari umat engkau wahai Muhammad yang telah Kami turunkan kepadamu… dan tidak ada keraguan bahwa ulama umat ini adalah para shahabat dan orang-orang setelah mereka. Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuliakan mereka atas seluruh hamba dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan mereka sebagai umat di tengah-tengah agar mereka menjadi saksi atas sekalian manusia, mereka mendapat kemuliaan demikian karena mereka umat nabi yang terbaik dan sayyid bani Adam.” (Fathul Qadir, hal. 1418) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (Hadits ini diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi di dalam Sunan beliau no. 2681, Ahmad di dalam Musnad-nya (5/169), Ad-Darimi di dalam Sunan-nya (1/98), Abu Dawud no. 3641, Ibnu Majah di dalam Muqaddimahnya dan dishahihkan oleh Al-Hakim dan Ibnu Hibban. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan: “Haditsnya shahih.” Lihat kitab Shahih Sunan Abu Dawud no. 3096, Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2159, Shahih Sunan Ibnu Majah no. 182, dan Shahih At-Targhib, 1/33/68) Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al-Madkhali mengatakan: “Kebijaksanaan Allah atas makhluk-Nya dan kekuasaan-Nya yang mutlak atas mereka. Maka barang siapa yang mendapat hidayah maka itu wujud fadhilah (keutamaan) dari Allah dan bentuk rahmat-Nya. Barangsiapa yang menjadi tersesat, maka itu dengan keadilan Allah dan hikmah-Nya atas orang tersebut. Sungguh para pengikut nabi dan rasul menyeru pula sebagaimana seruan mereka. Mereka itulah para ulama dan orang-orang yang beramal shalih pada setiap zaman dan tempat, sebab mereka adalah pewaris ilmu para nabi dan orang-orang yang berpegang dengan sunnah-sunnah mereka. Sungguh Allah telah menegakkan hujjah melalui mereka atas setiap umat dan suatu kaum dan Allah merahmati dengan mereka suatu kaum dan umat. Mereka pantas mendapatkan pujian yang baik dari generasi yang datang sesudah mereka dan ucapan-ucapan yang penuh dengan kejujuran dan doa-doa yang barakah atas perjuangan dan pengorbanan mereka. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya atas mereka dan semoga mereka mendapatkan balasan yang lebih dan derajat yang tinggi.” (Al-Manhaj Al-Qawim fi At-Taassi bi Ar-Rasul Al-Karim hal. 15) Asy-Syaikh Shalih Fauzan mengatakan: “Kita wajib memuliakan ulama muslimin karena mereka adalah pewaris para nabi, maka meremehkan mereka termasuk meremehkan kedudukan dan warisan yang mereka ambil dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta meremehkan ilmu yang mereka bawa. Barangsiapa terjatuh dalam perbuatan ini tentu mereka akan lebih meremehkan kaum muslimin. Ulama adalah orang yang wajib kita hormati karena kedudukan mereka di tengah-tengah umat dan tugas yang mereka emban untuk kemaslahatan Islam dan muslimin. Kalau mereka tidak mempercayai ulama, lalu kepada siapa mereka percaya. Kalau kepercayaan telah menghilang dari ulama, lalu kepada siapa kaum muslimin mengembalikan semua problem hidup mereka dan untuk menjelaskan hukum-hukum syariat, maka di saat itulah akan terjadi kebimbangan dan terjadinya huru-hara.” (Al-Ajwibah Al-Mufidah, hal. 140) Ulama Pelita dalam Kegelapan Waktu senantiasa mengikuti perjalanan umat manusia. Termasuk di dalamnya adalah umat Islam, yang kini telah sampai pada perjalanan yang demikian panjang. Hari demi hari, minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun, jarak antara mereka dengan zaman risalah semakin jauh. Jarak antara mereka dengan zaman keemasan umat ini telah demikian panjang, sehingga kualitas mereka dengan kualitas umat yang hidup di masa keemasan itu pun demikian jauh berbeda. Sungguh, melihat keadaan umat ini sekarang, benar-benar membuat hati pilu dan dada sesak. Kebodohan demikian merajalela, para ulama Rabbani semakin langka, dan semakin banyaknya orang bodoh yang berambisi untuk menjadi ulama. Keadaan ini merupakan peluang besar bagi pelaku kesesatan untuk menjerumuskan umat ke dalam kebinasaan. Dulu, di saat ilmu agama menguasai peradaban manusia dan ulama terbaik umat memandu perjalanan hidup mereka, para pelaku kesesatan dan kebatilan seolah-olah tersembunyi di balik batu yang berada di puncak gunung dalam suasana malam yang gelap gulita. Namun ketika para penjahat agama tersebut melihat peluang, mereka pun dengan sigap memanfaatkan peluang tersebut, turun dari tempat “pertapaan” mereka dan menampilkan diri seakan-akan mereka adalah para “penasihat yang terpercaya.” Sekarang adalah waktu yang tepat bagi mereka untuk mengobrak-abrik kekuatan dan keyakinan kaum muslimin. Mereka menggelar permainan cantik, saling mengoper kesesatan mereka. Kaum muslimin yang mayoritas kini berada dalam keterlenaan, menjadi mangsa yang empuk buat mereka. Satu demi satu sampai akhirnya menjadi banyak, gugur dalam amukan kesesatan tersebut. Para guru dengan merasa aman menggandeng tangan murid-muridnya menuju kegagalan hidup. Sementara orang tua dengan bangga melihat anaknya berjalan di tepi jurang menuju kehancuran dan kebinasaan. Di masa-masa sekarang ini, gambaran kebenaran menjadi kejahatan yang harus dilabrak dan dihanguskan, sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi bid’ah yang harus di kubur dan dimumikan. Tauhid menjadi lambang kesyirikan yang harus ditumbangkan dengan segala cara. Situasi dan kondisi kini telah berubah. Para pengikut kebenaran menjadi asing di tengah-tengah kaum muslimin. Kebatilan menjadi Al-Haq dan Al-Haq menjadi batil, berikut terasingnya orang yang bertauhid dan mengikuti sunnah. Di sinilah letak ‘kehebatan’ para penyesat dalam mengubah kebenaran hakekat agama, sehingga kaum muslimin menjalankan agama ini bagaikan robot yang berjalan membawa anggota badannya. Namun Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya dan tidak akan membiarkan para pelaku dan penyebar kesesatan itu merusak agama dan menyesatkan mereka secara menyeluruh. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berjanji di dalam Kitab-Nya dan di dalam Sunnah Rasul-Nya untuk menjaga agama-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْناَ الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لحَاَفِظُوْنَ “Sesungguhnya Kami yang telah menurunkan Ad-Dzikri (Al-Qur’an) dan Kami pula yang menjagannya.” (Al-Hijr: 9) يُرِيْدُوْنَ لِيُطْفِئُوا نُوْرَ اللهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَاللهُ مُتِمُّ نُوْرِهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ “Mereka berkeinginan memadamkan cahaya (Agama) Allah dan Allah tetap akan menyempurnakannya walaupun orang-orang kafir itu benci.” (Ash-Shaff: 8) هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُوْنَ “Dia-lah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan petunjuk dan agama yang benar untuk Allah menangkan atas seluruh agama.” (Ash-Shaff: 9) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kepada Khabbab bin Art radhiallahu ‘anhu: وَاللهِ لَيُتِمَّنَّ اللهُ هَذَا اْلأَمْرَ حَتَّى يَسِيْرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعاَءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ لاَ يَخاَفُ إِلاَّ اللهَ وَالذِّئْبَ عَلَى غَنَمِهِ وَلَكِنَّكُمْ تَسْتَعْجِلُوْنَ “Demi Allah, Allah akan benar-benar menyempurnakan urusan-Nya (agama) sehingga orang yang berkendaraan dari Shan’a1 menuju Hadhramaut (Yaman) tidak takut melainkan hanya kepada Allah atau kepada serigala yang akan menerkam kambingnya, akan tetapi kalian tergesa-gesa.” (HR. Al-Bukhari) Bentuk pemeliharaan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap agama-Nya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Segala puji bagi Allah, tidaklah seseorang melakukan kebid’ahan melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan pemberian nikmat-Nya membangkitkan orang yang akan membongkar kebid’ahan tersebut dan akan melumatkan dengan kebenaran. Dan ini merupakan perwujudan dari firman-Nya: “Sesungguhnya Kami yang telah menurunkan Adz-Dzikr dan Kami pula yang akan menjaganya.” Inilah bentuk pemeliharaan Allah terhadapnya.” (Syarh Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah, hal. 25) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ فِيْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهاَ دِيْنَهاَ “Sesungguhnya Allah akan membangkitkan di setiap awal seratus tahun orang yang akan memperbaharui agama umat ini.” (HR. Abu Dawud dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1874) Dari sini diketahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaga kemurniaan agama-Nya dari rongrongan para perusak agama dengan mengangkat ulama pada tiap generasi yang akan menjadi pembimbing umat ini. Abu Muslim Al-Khaulani rahimahullah mengatakan: “Ulama di muka bumi ini bagaikan bintang-bintang di langit. Apabila muncul, manusia akan diterangi jalannya dan bila gelap manusia akan mengalami kebingungan.” (Tadzkiratus Sami’, hal 34) Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah mengatakan: “Telah sampai kepada kami bahwa Abu Dawud adalah termasuk ulama dari ulama-ulama yang mengamalkan ilmunya sehingga sebagian imam mengatakan bahwa Abu Dawud serupa dengan Ahmad bin Hanbal dalam hal bimbingan dan kewibawaan. Dalam hal ini Ahmad menyerupai Waki’, dalam hal ini pula Waki’ menyerupai Sufyan dan Sufyan menyerupai Manshur dan Manshur menyerupai Ibrahim, Ibrahim serupa dengan ‘Alqamah dan ‘Alqamah dengan Abdullah bin Mas’ud. ‘Alqamah berkata: “Ibnu Mas’ud menyerupai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam bimbingan dan arahannya.” (Tadzkiratul Huffadz, 2/592, lihat Wujub Irtibath bil ‘Ulama karya Hasan bin Qashim Ar-Rimi) Dalam setiap generasi dan jaman, Allah Subhanahu wa Ta’ala memilih sejumlah orang yang dikehendaki-Nya sebagai pelita dan lentera kegelapan dan perahu dalam mangarungi lautan yang diliputi guncangan ombak dahsyat sebagai tali penghubung antara diri-Nya dengan para hamba-Nya. Sebagai penunjuk jalan dan pemandu dalam perjalanan setiap insan menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka adalah ulama. Kedudukan Ulama Permbahasan ulama, kedudukan mereka dalam agama berikut di hadapan umat, merupakan permasalahan yang menjadi bagian dari agama. Mereka adalah orang-orang yang menjadi penyambung umat dengan Rabbnya, agama dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah sederetan orang yang akan menuntun umat kepada cinta dan ridha Allah, menuju jalan yang dirahmati yaitu jalan yang lurus. Oleh karena itu ketika seseorang melepaskan diri dari mereka berarti dia telah melepaskan dan memutuskan tali yang kokoh dengan Rabbnya, agama dan Rasul-Nya. Ini semua merupakan malapetaka yang dahsyat yang akan menimpa individu ataupun sekelompok orang Islam. Berarti siapapun atau kelompok mapapun yang mengesampingkan ulama pasti akan tersesat jalannya dan akan binasa. Al-Imam Al-Ajurri rahimahullah dalam muqaddimah kitab Akhlaq Al-Ulama mengatakan: “Amma ba’du, sesungguhnya Allah dengan nama-nama-Nya yang Maha Suci telah mengkhususkan beberapa orang dari makhluk yang dicintai-Nya lalu menunjuki mereka kepada keimanan. Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memilih dari seluruh orang-orang yang beriman yaitu orang-orang yang dicintai-Nya dan setelah itu memberikan keutamaan atas mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah, mengajarkan kepada mereka ilmu agama dan tafsir Al-Qur’an yang jelas. Allah Subhanahu wa Ta’ala utamakan mereka di atas seluruh orang-orang yang beriman pada setiap jaman dan tempat. Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat mereka dengan ilmu, menghiasi mereka dengan sikap kelemahlembutan. Dengan keberadaan mereka, diketahui yang halal dan haram, yang hak dan yang batil, yang mendatangkan mudharat dari yang mendatangkan manfaat, yang baik dan yang jelek. Keutamaan mereka besar, kedudukan mereka mulia. Mereka adalah pewaris para nabi dan pemimpin para wali. Semua ikan yang ada di lautan memintakan ampun buat mereka, malaikat dengan sayap-sayapnya menaungi mereka dan tunduk. Para ulama pada hari kiamat akan memberikan syafa’at setelah para Nabi, majelis-majelis mereka penuh dengan ilmu dan dengan amal-amal mereka menegur orang-orang yang lalai. Mereka lebih utama dari ahli ibadah dan lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang zuhud. Hidup mereka merupakan harta ghanimah bagi umat dan mati mereka merupakan musibah. Mereka mengingatkan orang-orang yang lalai, mengajarkan orang-orang yang jahil. Tidak pernah terlintas bahwa mereka akan melakukan kerusakan dan tidak ada kekhawatiran mereka akan membawa menuju kebinasaan. Dengan kebagusan adab mereka, orang-orang yang bermaksiat terdorong untuk menjadi orang yang taat. Dan dengan nasihat mereka, para pelaku dosa bertaubat. Seluruh makhluk butuh kepada ilmu mereka. Orang yang menyelisihi ucapan mereka adalah penentang, ketaatan kepada mereka atas seluruh makhluk adalah wajib dan bermaksiat kepada mereka adalah haram. Barangsiapa yang mentaati mereka akan mendapatkan petunjuk, dan barang siapa yang memaksiati mereka akan sesat. Dalam perkara-perkara yang rancu, ucapan para ulama merupakan landasan mereka berbuat. Dan kepada pendapat mereka akan dikembalikan segala bentuk perkara yang menimpa pemimpin-pemimpin kaum muslimin terhadap sebuah hukum yang tidak mereka ketahui. Maka dengan ucapan ulama pula mereka berbuat dan kepada pendapat ulama mereka kembali. Segala perkara yang menimpa para hakim umat Islam maka dengan hukum para ulama-lah mereka berhukum, dan kepada ulama-lah merekalah kembali. Para ulama adalah lentera hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala, lambang2 sebuah negara, lambang kekokohan umat, sumber ilmu dan hikmah, serta mereka adalah musuh syaithan. Dengan ulama akan menjadikan hidupnya hati para ahli haq dan matinya hati para penyeleweng. Keberadaan mereka di muka bumi bagaikan bintang-bintang di langit yang akan bisa menerangi dan dipakai untuk menunjuki jalan dalam kegelapan di daratan dan di lautan. Ketika bintang-bintang itu redup (tidak muncul), mereka (umat) kebingungan. Dan bila muncul, mereka (bisa) melihat jalan dalam kegelapan.” Dari ucapan Al-Imam Al-Ajurri di atas jelas bagaimana kedudukan ulama dalam agama dan butuhnya umat kepada mereka serta betapa besar bahayanya meninggalkan mereka. Dalil-dalil tentang keutamaan ilmu dan ulama 1. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجاَتٍ “Allah mengangkat orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberikan ilmu ke beberapa derajat.” (Al-Mujadalah: 11) Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu berkata: “(Kedudukan) ulama berada di atas orang-orang yang beriman sampai 100 derajat, jarak antara satu derajat dengan yang lain seratus tahun.” (Tadzkiratus Sami’, hal. 27) 2. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: شَهِدَ اللهُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ وَالْمَلاَئِكَةُ وَأُولُوا الْعِلْمِ قَائِماً بِالْقِصْطِ “Allah telah mempersaksikan bahwa tidak ada sesembahan yang benar melainkan Dia dan para malaikat dan orang yang berilmu (ikut mempersaksikan) dengan penuh keadilan.” (Ali ‘Imran: 18) Al-Imam Badruddin rahimahullah berkata: “Allah memulai dengan dirinya (dalam persaksian), lalu malaikat-malaikat-Nya, lalu orang-orang yang berilmu. Cukuplah hal ini sebagai bentuk kemuliaan, keutamaan, keagungan dan kebaikan (buat mereka).” (Tadzkiratus Sami’, hal 27) Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah dalam Tafsir-nya mengatakan: “Di dalam ayat ini terdapat penjelasan tentang keutamaan ilmu dan ulama karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut mereka secara khusus dari manusia lain. Allah Subhanahu wa Ta’ala menggandengkan persaksian mereka dengan persaksian diri-Nya dan malaikat-malaikat-Nya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan persaksian mereka (ulama) sebagai bukti besar tentang ketauhidan Allah Subhanahu wa Ta’ala, agama, dan balasan-Nya. Dan wajib atas setiap makhluk menerima persaksian yang penuh keadilan dan kejujuran ini. Dan dalam kandungan ayat ini pula terdapat pujian kepada mereka (ulama) bahwa makhluk harus mengikuti mereka dan mereka (para ulama) adalah imam-imam yang harus diikuti. Semua ini menunjukkan keutamaan, kemuliaan dan ketinggian derajat mereka, sebuah derajat yang tidak bisa diukur.” (Tafsir As-Sa’di, hal 103). Al-Qurthubi rahimahullah dalam Tafsir-nya mengatakan: “Di dalam ayat ini ada dalil tentang keutamaan ilmu dan kemuliaan ulama. Maka jika ada yang lebih mulia dari mereka, niscaya Allah akan menggandengkan nama mereka dengan nama–Nya dan nama malaikat-malaikat-Nya sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menggandengkan nama ulama.” (Tafsir Al-Qurthubi, 2/27) 3. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ “Katakan (wahai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) apakah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu.” (Az-Zumar: 9) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala menafikan unsur kesamaan antara ulama dengan selain mereka sebagaimana Allah menafikan unsur kesamaan antara penduduk surga dan penduduk neraka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Katakan, tidaklah sama antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu.” (Az-Zumar: 9), sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Tidak akan sama antara penduduk neraka dan penduduk surga.” (Al-Hasyr: 20). Ini menunjukkan tingginya keutamaan ulama dan kemuliaan mereka.” (Miftah Dar As-Sa’adah, 1/221) 4. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ “Maka bertanyalah kalian kepada ahli dzikir (ahlinya/ ilmu) jika kalian tidak mengetahui.” (An-Naml: 43) Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah dalam Tafsir-nya mengatakan: “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada siapa saja yang tidak mengetahui untuk kembali kepada mereka (ulama) dalam segala hal. Dan dalam kandungan ayat ini, terdapat pujian terhadap ulama dan rekomendasi untuk mereka dari sisi di mana Allah memerintahkan untuk bertanya kepada mereka.” (Tafsir As-Sa’di, hal. 394) 5. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: وَمَا يَعْقِلُهَا إِلاَّ الْعَالِمُوْنَ “Dan tidak ada yang mengetahuinya (perumpamaan-perumpamaan yang dibuat oleh Allah) melainkan orang-orang yang berilmu.” (Al-’Ankabut: 43) Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah dalam Tafsir-nya mengatakan: “Melainkan orang-orang yang berilmu secara benar di mana ilmunya sampai ke lubuk hatinya.” (Tafsir As-Sa’di, hal 581) 6. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمآءُ “Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (Fathir: 28) Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu mengatakan: “Sesungguhnya aku mengira bahwa terlupakannya ilmu karena dosa, kesalahan yang dilakukan. Dan orang alim itu adalah orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Ta’liq kitab Tadzkiratus Sami’, hal. 28) Abdurrazaq mengatakan: “Aku tidak melihat seseorang yang lebih bagus shalatnya dari Ibnu Juraij. Dan ketika melihatnya, aku mengetahui bahwa dia takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Ta’liq kitab Tadzkiratus Sami’, hal 28) Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwa mereka (para ulama) adalah orang-orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, bahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala mengkhususkan mereka dari mayoritas orang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah dari hamba-hamba-Nya adalah ulama, sesungguhnya Allah Maha Mulia lagi Maha Pengampun.” (Fathir: 28). Ayat ini merupakan pembatasan bahwa orang yang takut kepada Allah adalah ulama.” (Miftah Dar As-Sa’adah 1/225) 7. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: جَزَاؤُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أَبَدًا رَضِيَ اللهً عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّهُ “Ganjaran mereka di sisi Allah adalah jannah Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai dan mereka kekal di dalamnya. Allah meridhai mereka dan mereka ridha kepada Allah, demikian itu adalah bagi orang yang takut kepada Rabbnya.” (Al-Bayyinah: 8) Badruddin Al-Kinani rahimahullah berkata: “Kedua ayat ini (Fathir ayat 28 dan Al-Bayyinah ayat 8) mengandung makna bahwa ulama adalah orang-orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan orang-orang yang takut kepada Allah adalah sebaik-baik manusia. Dari sini disimpulkan bahwa ulama adalah sebaik-baik manusia.” (Tadzkiratus Sami’ hal. 29) Ucapan yang serupa dan semakna dibawakan oleh Ibnul Qayyim t dalam kitabnya Miftah Dar As-Sa’adah, jilid 1 hal. 225. 8. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ “Barang siapa yang dikehendaki oleh Allah untuk mendapatkan kebaikan, maka Allah akan mengajarkannya ilmu agama.” Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: “Hadits ini menunjukkan, barangsiapa yang tidak dijadikan Allah faqih dalam agama-Nya, menunjukkan bahwa Allah tidak mengijinkan kepadanya kebaikan.” (Miftah Dar As-Sa’adah, 1/246) 9. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ “Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR At-Tirmidzi dari Abu Ad-Darda radhiallahu ‘anhu) Badruddin Al-Kinani rahimahullah mengatakan: “Cukup derajat ini menunjukkan satu kebanggaan dan kemuliaan. Dan martabat ini adalah martabat yang tinggi dan agung. Sebagaimana tidak ada kedudukan yang tinggi daripada kedudukan nubuwwah, begitu juga tidak ada kemuliaan di atas kemuliaan pewaris para nabi.” (Tadzkiratus Sami’ hal. 29) Dan masih banyak dalil-dalil yang menjelaskan tentang kedudukan mereka dalam agama dan peran mereka dalam kehidupan umat. Wallahu a’lam. 1 Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud adalah Shan’a di Syam, dan sebagian yang lain mengatakan Shan’a di Yaman. Adapun Ibnu Hajar menguatkan pendapat yang kedua, yaitu yang dimaksud adalah Shan’a di Yaman. Dikutip dari http://asysyariah.com Penulis : Al Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An Nawawi Judul: Ulama Pewaris nabi Khilafah runtuh tahun 1924, setelah itu yang ada hanyalah kerajaan. Itu bukan kata ulama yang pernah saya dengar, akan tetapi kata teman saya dari Hizbut-Tahriir. Diskusi dengan tema ini adalah diskusi klasik yang telah beberapa kali saya lakukan dengan mereka.
Berikut beberapa paragraf kalimat yang pernah saya tulis saat ‘berbincang’ dengan mereka. Para ulama dalam membedakan hal ini (khilafah dan kerajaan) berdasarkan oleh beberapa hadits diantaranya : 1. Hadits Hudzaifah bin Yaman radliyallaahu ‘anhu : تكون النبوة فيكم ما شاء الله أن تكون , ثم يرفعها الله إذا شاء أن يرفعها ثم تكون خلافة على منهاج النبوة , فتكون ما شاء الله أن تكون , ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها , ثم تكون ملكا عاضا فيكون ما شاء الله أن تكون , ثم يرفعها إذا شاء الله أن يرفعها , ثم تكون ملكا جبريا فتكون ما شاء الله أن تكون , ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها , ثم تكون خلافة على منهاج النبوة . ثم سكت " . “Akan ada masa kenabian pada kalian selama yang Allah kehendaki, Allah mengangkat/menghilangkannya kalau Allah kehendaki. Lalu akan ada masa khilafah di atas manhaj Nubuwwah selama yang Allah kehendaki. Kemudian Allah mengangkatnya jika Allah menghendaki. Lalu ada masa kerajaan yang sangat kuat (ada kedhaliman) selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki. Lalu akan ada masa kerajaan (tirani) selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki. Lalu akan ada lagi masa kekhilafahan di atas manhaj Nubuwwah”. Kemudian beliau diam” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/273 dan Ath-Thayalisi no. 439; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 5]. 2. Hadits Safiinah radliyallaahu ‘anhu Maula Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : الخلافة في أمتي ثلاثون سنة ثم ملك بعد ذلك ”Kekhilafahan umatku selama 30 tahun, kemudian setelah itu adalah masa kerajaan”[Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4646,4647; At-Tirmidzi no. 2226; dan yang lainnya; shahih]. Dua hadits di atas (dan sebenarnya masih ada hadits-hadits yang lain) secara jelas menjelaskan periodisasi kepemerintahan Islam. Masa kekhilafahan awal dalam Islam adalah selama 30 tahun. Ini adalah tekstual (manthuq) hadits yang sangat jelas lagi tidak memerlukan ta’wil. Jika ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud kekhilafahan selama 30 tahun adalah kekhilafahan di atas manhaj nubuwwah dan setelah itu tetap berbentuk kekhilafahan (yang tidak berdiri di atas manhaj nubuwwuah) – bukan kerajaan - ; maka itu sangat tidak bisa diterima. Kenapa ? Tidak lain pemahaman itu menafikkan dhahir nash yang mengatakan bahwa setelah masa 30 tahun adalahkerajaan (الْمُلْكُ). Apakah sabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam : tsumma takuunu mulkan ’aadldlan fayakuunu maasyaaa allaahu an-takuunu (”lalu ada masa kerajaan yang sangat kuat (ada kedhaliman) selama yang Allah kehendaki, kemudian Allah mengangkatnya bila Allah menghendaki”) dan tsumma mulkun ba’da dzaalika(”kemudian setelah itu – yaitu setelah era 30 tahun - adalah masa kerajaan”) adalah sia-sia tanpa arti ? Dan apakah mereka hendak menakwil bahwa kerajaan itu sama dengan khilafah dalam konteks sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam di atas ? Jika kekhawatiran kita terhadap mereka ini terjadi, tentu saja prasangka mereka itu sangat jauh dari kebenaran..... Para ulama telah menjelaskannya dalam banyak kesempatan ketika mereka mensyarah hadits di atas. Juga ketika mereka menjelaskan perbedaan antara khilafah dan kerajaan atau khalifah dan raja. Para ulama berkata : Masa tiga puluh tahun itu adalah masa kekhilafahan. Era khulafaaur-raasyidiin yang terdiri dari masa kekhilafahan Abu Bakar, ’Umar, ’Utsman, ’Ali, dan Al-Hasan bin ’Ali radliyallaahu ’anhum (para ulama berbeda pendapat mengenai status Al-Hasan bin ’Ali – namun yang rajih, masa kepemerintahannya termasuk bagian dari masa kekhilafahan). Adapun setelah itu muncullah raja. Al-Baihaqi dalam Al-Madkhal (no. 52) membawakan satu riwayat dari Safiinah radliyallaahu ’anhu sebagai berikut : أن أول الملوك معاوية رضي الله عنه ”Bahwasannya raja pertama dari raja-raja (dalam Islam) adalah Mu’awiyyahradliyallaahu ’anhu”. Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Ath-Thayalisi no. 1203 [shahih]. Mengenai kalimat {ثم ملك بعد ذلك} ”kemudian setelah itu adalah masa kerajaan” ; maka berkata Al-Munawi : ”yaitu setelah berakhirnya masa kekhilafahan nubuwwah, maka akan muncul kerajaan”. Dan bahkan secara tegas Ath-Thibi yang disitir oleh Al-’Adhim ’Abadiy dalam ’Aunul-Ma’bud (2/388) mengatakan bahwa masa setelah ’Ali radliyallaahu ’anhu adalah masa ’mulkan ’adluudlan’ (مُلْكاً عَضُوضاً = Kerajaan yang dhalim). Lantas, apa perbedaan antara khalifah dan raja atau khilafah dan kerajaan itu ? Mari kita perhatikan satu riwayat yang datang dari Salman ketika satu saat ’Umar bin Al-Khaththab bertanya kepadanya tentang perbedaan raja dan khalifah, dimana Salman menjawab : إن أنت جبيت من أرض المسلمين درهمًا أو أقل أو أكثر ثم وضعته في غير حقه فأنت ملك ، وأما الخليفة فهو الذي يعدل في الرعية ، ويقسم بينهم بالسوية ، ويشفق عليهم شفقة الرجل على أهل بيته ، والوالد على ولده ، ويقضي بينهم بكتاب الله ”Apabila engkau mengumpulkan dari bumi kaum muslimin dirham (harta) baik sedikit ataupun banyak, yang kemudian engkau pergunakan tidak sesuai dengan haknya, maka engkau adalah raja. Adapun khaliifah, maka ia berbuat adil kepada rakyat, membagi antara mereka dengan sama rata, sangat memperhatikan mereka (yaitu rakyatnya) sebagaimana perhatiannya seorang laki-laki terhadap anggota keluarganya atau seperti orang tua kepada anaknya, dan memutuskan perkara di antara mereka dengan Kitabullah” [Ath-Thabaqaatul-Kubraa oleh Ibnu Sa’ad 3/306]. Dan yang lain menambahkan bahwa kerajaan (mulk) itu biasanya dicapai melalui jalan pemaksaan, penundukan (dalam peperangan), pesan/amanat dari seorang ayah kepada anaknya (atau kepada kerabatnya – Abul-Jauzaa’), atau yang semisal dengan itu; tanpa merujuk/mengembalikannya kepada Ahlul-Halli wal-‘Aqdi. Adapun Khilafah, maka ia tidaklah terwujud kecuali dengan penetapan Ahlul-Halli wal-‘Aqdi. Sama saja, apakah melalui jalan pemilihan atau penunjukan [Al-Imaamatul-‘Udhmaa oleh Ad-Dumaiji hal. 40]. Ibnu Khaldun berkata tentang perbedaan antara khilafah dan kerajaan (mulk) : إن الملك الطبيعي : هو حمل الكافة على مقتضى الغرض والشهوة ، والسياسي : هو حمل الكافة على مقتضى النظر العقلي في جلب المصالح الدنيوية ودفع المضار ، والخلافة هي : حمل الكافة على مقتضى النظر الشرعي في مصالحهم الأخروية والدنيوية الراجعة إليها “Sesungguhnya (definisi) kerajaan secara thabi’iy adalah bertujuan membawa seluruh manusia kepada pemenuhan hawa nafsu dan syahwat. Secara siyasiy, kerajaan adalah bertujuan membawa manusia menerima apa yang diputuskan melalui pertimbangan akal untuk mencapai kemaslahatan dunia dan mencegah kemudlaratannya. Dan khilafah adalah bertujuan membawa seluruh manusia menerima apa yang diputuskan melalui pertimbangan syariat untuk kemaslahatan dunia dan akhirat, yang kesemuanya itu dikembalikan kepada kemaslahatan akhirat” [Al-Muqaddimah oleh Ibnu Khaldun hal. 190]. Bukankah secara jelas bahwa yang namanya khilafah secara siyasiy dan syar’iy telah berakhir setelah era Al-Hasan bin ‘Aliy ? Dan setelah itu mulailah sejarah Islam mencatat munculnya berbagai macam Dinasti (Umayyah, ‘Abbasiyyah, dan seterusnya) dimana dalam pencapaian kekuasaan sangat menyelisihi apa yang dilakukan pada eraAl-Khulafaur-Rasyidin ? Pada masa-masa itu (sampai hari ini), jabatan khalifah diberikan kepada keluarga secara turun-temurun. Oleh karena itu dikenalnya Dinasti Umayyah adalah karena bergulirnya amir pada saat itu berputar pada keluarga Bani Umayyah. Begitu juga Dinasti ’Abbasiyyah dimana para amir pada saat itu turun-temurun jatuh pada keluarga Bani ’Abbasiyyah. Dan seterusnya dan seterusnya. Dan sejarah pun telah mencatat dengan tinta hitamnya bahwa banyak diantara memperoleh kekuasaannya dengan didahului dengan aneka kekerasan, pemberontakan, pembunuhan, atau yang semisalnya. Ini adalah kenyataan sejarah yang sangat gamblang. Mu’awiyyah bin Abi Sufyan memegang tampuk kekuasaannya setelah terlebih dahulu terjadi peperangan yang berlarut-larut dengan ’Aliy bin Abi Thaalib dan Al-Hasan bin ’Aliy radliyallaahu ’anhum. NB : Tanbih !! Agar tidak terjadi kesalahpahaman, perlu saya jelaskan bahwa saya tidak mengatakan Mu’awiyyah memperoleh kekuasaannya dengan memberontak kepada ’Aliy atau Al-Hasan bin ’Aliy. Penekanan dalam bahasan ini adalah bahwa Mu’awiyyah berkedudukan sebagai raja secara siyasi dilihat dari sisi bahwa ia tidak memperolehnya melalui jalan penetapan Ahlul-Halli wal-’Aqdi. Namun ia adalah sebaik-baik raja dalam sejarah Islam. Bahkan sebagian ulama menjelaskan bahwa Mu’awiyyah tetap lebih utama dibandingkan dengan ’Umar bin ’Abdil-’Aziz yang terkenal keadilannya itu. Bukankah Yazid bin Mu’awiyyah menduduki tampuk kepemimpinan setelah ia ditunjuk oleh ayahnya (yaitu Mu’awiyyah bin Abi Sufyan radliyallaahu ’anhumaa) untuk menggantikannya ? (yang kemudian setelah ia penduduk Syam membaiatnya – yaitu baiat taat – kecuali Al-Husain bin ’Ali, ’Abdullah bin Az-Zubair, dan yang sepaham dengan mereka berdua radliyallaahu ’anhum). Bukankah kita juga mendengar bahwa ’Abdul-Malik bin Marwan memperoleh kekuasaannya secara penuh setelah peperangannya melawan’Abdullah bin Az-Zubair radliyallaahu ’anhuma ? Saya sisipkan satu riwayat menarik dalam Sunan At-Tirmidziy : Berkata Sa’id bin Jumhaan kepada Safiinah : أَنَّ بَنِي أُمَيَّة يَزْعُمُونَ أَنَّ الْخِلافَةَ فِيهِم؟ قَالَ : كَذابُوا بَنُوا الزَّرْقَاءِ بَلْ هُمْ مُلُوكٌ مِنْ شَرِّ الْمُلُوكِ ”Bani Umayyah telah menganggap bahwasannya kekhilafahan ada pada diri mereka ?”. Maka Safiinah berkata : ”Bani Az-Zarqaa’ (yaitu Bani Marwan, dimana mereka termasuk bagian dari keluarga besar Bani Umayyah – Abul-Jauzaa’) telah berdusta. Bahkan mereka ini termasuk sejahat-jahat raja” [no. 2226; shahih]. Perkataan Safiinah bahwasannya Bani Az-Zarqaa’ (Bani Marwan) adalah sejahat-jahat raja dapatlah kita maklumi bahwa pada jaman tersebut terjadi sejumlah tragedi berdarah seperti penyerangan terhadap Al-Haramain untuk memerangi Abdullah bin Az-Zubair dan pasukannya sehingga terjadi pembunuhan terhadap ribuan kaum muslimin. Terkenal pula pada masa itu seorang pemimpin yang kejam sepanjang sejarah : Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafiy. Bukankah kita juga membaca sejarah bahwa Yazid bin ’Abdil-Malik bin Marwan memegang tampuk kepemimpinan dengan wasiat saudaranya Sulaiman setelah didahului dengan pembunuhan terhadap ’Umar bin ’Abdil-’Aziz karena diracun oleh keluarganya ? Bukankah setelah Yazid bin ’Abdil-Malik meninggal, ia mewasiatkan kepemimpinan kepada Hisyam bin ’Abdil-Malik ? Bukankah Dinasti ’Umayyah berakhir dengan aneka macam pemberontakan yang menumbangkan Marwan bin Al-Himar sehingga diganti oleh Dinasti ’Abbasiyyah ? Dan seterusnya dan seterusnya..... Namun perlu juga saya tekankan di sini – agar tidak ada anggapan menyimpan bayyinah - bahwa boleh dimutlakkan nama khalifah setelah era Khulafaur-Rasyidin dan Al-Hasan bin ’Ali ketika tidak ada tuntutan pembedaan dengan istilah malik (raja) atau mulk(kerajaan). Berkata Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah : ويجوز تسمية من بعد الخلفاء الراشدين [خلفاء] وإن كانوا ملوكا، ولم يكونوا خلفاء الأنبياء بدليل ما رواه البخاري ومسلم في صحيحيهما عن أبي هريرة رضي الله عنه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: (كانت بنو إسرائيل يسوسهم الأنبياء كلما هلك نبي خلفه نبي وإنه لا نبي بعدي وستكون خلفاء فتكثر، قالوا فما تأمرنا ؟ قال: فوا ببيعةالأول فالأول، ثم أعطوهم حقهم، فإن الله سائلهم عما استرعاهم). فقوله:(فتكثر) دليل على من سوى الراشدين فإنهم لم يكونوا كثيرا. وأيضا قوله:(فوا ببيعة الأول فالأول) دل على أنهم يختلفون، والراشدون لم يختلفوا ”Bolehnya menyebut khalifah terhadap orang-orang yang memimpin setelah era Khulafaur-Rasyidin, walaupun mereka sebenarnya adalah raja dan bukan pula sebagai pengganti para Nabi. Hal itu berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih mereka dari Abi Hurairah radliyallaahu ’anhu, dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bahwasannya beliau bersabda : ”Adalah Bani Israail dibimbing oleh banyak nabi. Setiap kali seorang Nabi meninggal, maka digantikan oleh Nabi yang lain. Tidak ada Nabi lagi setelahku. Dan kelak akan ada beberapa khalifah yang kemudian menjadi banyak”. Mereka (para shahabat) bertanya : ”Apa yang engkau perintahkan kepada kami ?”. Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab : ”Patuhilah khalifah yang mendapatkan baiat yang pertama, dan penuhilah hak mereka. Karena Allah kelak akan meminta pertangungjawaban atas kepemimpinan mereka”. Sabda Nabishallallaahu ’alaihi wasallam : fataktsuru (فتكثر) adalah sebagai dalil bahwasanya yang beliau maksudkan adalah khalifah selain Al-Khulafaur-Rasyidin, karena Al-Khulafaur-Raasyidiin tidak banyak jumlahnya. Dan juga sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam :fuu bi-bai’atil-ula fal-ulaa (فوا ببيعة الأول فالأول); menunjukkan bahwasannya mereka berselisih, padahal Khulafaur-Rasyidin itu tidaklah berselisih” [selesai perkataan Ibnu Taimiyyah – Lihat Majmu’ Al-Fataawaa 35/20]. Penjelasan ini saya rasa sudah sangat masyhur..... Namun anehnya, rekan-rekan Hizbut-Tahrir seakan-akan tidak pernah memunculkannya dalam bahasan mereka. Akibatnya, bisa saja timbul dugaan dalam hati kita bahwa jika hal ini mereka munculkan, akan gugur konsepsi teologis mereka tentang kekhilafahan yang katanya runtuh pada tahun 1924, dan yang ada kemudian setelah itu (yaitu setelah runtuhnya Daulah ’Utsmaniyyah) adalah sistem kerajaan (mulk). Wallaahu a’lam. Sedikit referensi mengambil dari : 1. Tuhfatul-Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi oleh Al-Mubarakfury Daarul-Fikr, tanpa tahun (terutama pada juz 6 hal. 476-478). 2. ’Aunul-Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud oleh Muhammad Syamsul-Haqq Al-’Adhim ’Abadiy, Penerbit : Muhammad bin ’Abdil-Muhsin, shaahibu Al-Maktabah As-Salafiyyah, Cet. 2/1488 (terutama juz 2/397-399). 3. Al-Imaamatul-’Udhmaa oleh Dr. ’Abdullah bin ’Umar Ad-Dumaiji, Daaruth-Thayyibah, Cet. 2/1408 (terutama hal. 37-42). 4. Silsilah Ash-Shahiihah oleh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Maktabah Al-Ma’arif (terutama juz 1 hal. 34-36 dan 820-827). 5. Majmu’ Al-Fataawaa oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, Daarul-Wafaa’, Cet. 3/1426 (terutama juz 35 hal. 20). 6. Tarikh Khulafaa’ oleh As-Suyuthi (terjemahan), Pustaka Al-Kautsar, Cet. 4/2005. 7. Beberapa kitab hadits. Sebuah hadist yang yang merupakan salah satu tanda kemukjizatan nabi Muhammad SAW adalah tentang masa periode pemerintahan dunia. melalui kita ketahui kebenaran apa yang disabdakan nabi itu sesuai dengan realita yang telah kita lalui. namun sayangnya hadis ini “telah lama disembunyikan” dan sengaja ditutupi dan tidak dipelajari di bangku-bangku pendidikan agar umat islam lupa terhadap bisyarah (kabar gembira) dari Rasulullah Muhammad SAW.
تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ “Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) yang zalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) diktator yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada. Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” Beliau kemudian diam. (HR Ahmad dan al-Bazar). Sanad Hadis Imam Ahmad menerimanya dari Sulaiman bin Dawud ath-Thuyalisi dari Dawud bin Ibrahim al-Wasithi dari Habib bin Salim dari an-Nu‘man bin Basyir. Ia berkata: Kami sedang duduk di masjid bersama Rasulullah saw. Basyir adalah orang yang hati-hati dalm berbicara. Lalu datang Abu Tsa‘labah al-Khusyani. Ia berkata, “Wahai Basyir bin Saad, apakah engkau hapal hadis Rasulullah saw. tentang para pemimpin?” Hudzaifah berkata, “Aku hapal khutbah beliau.” Lalu Abu Tsa‘labah duduk dan Hudzaifah berkata, “Rasululah saw. bersabda: (sesuai dengan matan hadis di atas).” Al-Bazzar menerimanya dari al-Walid bin Amru bin Sikin dari Ya‘qub bin Ishaq al-Hadhrami dari Ibrahim bin Dawud dari Habib bin Salim dari an-Nu‘man bin Basyir. Ia bercerita bahwa ia sedang di masjid bersama bapaknya, Basyir bin Saad. Lalu datang Abu Tsa‘labah al-Khusyani. Kemudian terjadilah dialog seperti di atas. Al-Haytsami berkomentar,”Imam Ahmad meriwayatkannya dalam Tarjamah an-Nu‘mân, juga al-Bazzar secara persis, ath-Thabrani secara sebagiannya di dalam al-Awsath, dan para perawinya tsiqah. Ibn Rajab al-Hanbali juga menukil riwayat Ahmad ini. Makna dan Faedah Hadis ini memberitahukan lima periode perjalanan kaum Muslim sejak masa kenabian. Periode pertama adalah periode kenabian. Periode kedua adalah periode Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Para ulama sepakat bahwa periode Khilafah Rasyidah adalah periode Khilafah yang berjalan di atas manhaj kenabian. Menurut sebagian ulama, periode ini adalah periode Khulafar Rasyidin sampai periode Khilafah al-Hasan bin Ali. Khilafah Umar bin Abdul Aziz oleh sebagian ulama juga dikategorikan Khilafah Rasyidah sehingga beliau juga dijuluki Khulafaur Rasyidin. Periode ketiga adalah periode pemerintahan dan kekuasaan yang zalim. Lafal mulk bisa berarti kerajaan, bisa juga al-hukm wa as-sulthân (pemerintahan dan kekuasaan). Lafal mulk dalam hadis ini kurang tepat jika dimaknai kerajaan sebagai sebuah bentuk pemerintahan. Sebab, setelah Khulafaur Rasyidin, bentuk pemerintahan kaum Muslim tidak berubah menjadi kerajaan, tetapi tetap Khilafah. Kepala negara tetap seorang khalifah dan tidak pernah berubah menjadi raja. Ini adalah fakta yang telah disepakati para ulama. As-Suyuthi dalam Tarîkh al-Khulafâ’ berkata, “Aku hanya menyebutkan khalifah yang telah disepakati keabsahan imâmah-nya dan keabsahan akad baiatnya.” Secara faktual, Khilafah terus berlanjut sampai diruntuhkan oleh penjajah Barat tahun 1924 M. Namun, juga disepakati, selama rentang waktu tersebut terjadi penyimpangan dan keburukan penerapan Islam di sana-sini. Jadi, periode tersebut adalah periode pemerintahan dan kekuasaan yang di dalamnya terjadi kazaliman, yaitu peyimpangan dan keburukan penerapan sistem dalam beberapa hal. Periode selanjutnya adalah periode pemerintahan dan kekuasaan jabbariyah (diktator). Dalam riwayat Abu Tsa‘labah al-Khusyani dari Muadz bin Jabal dan Abu Ubaidah, periode ini digambarkan sebagai periode pemerintahan dan kekuasaan yang sewenang-wenang, durhaka, diktator, dan melampaui batas.6Gambaran demikian adalah gambaran pemerintahan dan kekuasaan yang bukan Islam. Periode pasca runtuhnya Khilafah saat ini tampaknya sesuai dengan gambaran tersebut. Periode terakhir adalah periode kembalinya Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ini merupakan basyârah (berita gembira) akan tegaknya kembali Khilafah setelah keruntuhannya. Makna yang sama juga diriwayatkan dalam banyak riwayat. Jika riwayat ini digabung dengan riwayat lain yang semakna, yaitu riwayat akan masuknya Islam di setiap rumah, hadis al-waraq al-mu’allaq, hadis Khilafah turun di bumi al-Quds, hadis mengenai Dâr al-Islâm kaum Mukmin berpusat di Syam, hadis ‘adl wa al-jur, hadis hijrah setelah hijrah, hadis al-ghuraba’, hadis al-mahdi, dan hadis akan ditaklukkannya Roma, maka makna tersebut bahkan bisa sampai pada tingkat mutawatir. Basyârah ini selayaknya memacu semangat kita untuk terus berjuang demi tegaknya Khilafah, karena kita ingin mendapat kemuliaan, yakni turut menjadi aktor bagi terlaksananya janji Allah tersebut. Allâhummarzuqnâ dawlah Khilâfah Râsyidah. Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. Source |
Jody JoezarLives in Jakarta, Idonesia loves nature and life Categories |