Sobat ternyata kita bisa membersihkan ginjal kita dengan biaya kurang dari Rp. 10.000,- saja loh. Ginjal sendiri berfungsi menyaring darah dengan membuang: Garam dan racun yang tidak diinginkan agar tidak masuk ke tubuh kita. Namun tanpa kita sadari seiring berjalannya waktu trjadi penumpukan garam dan kita perlu melakukan perawatan dan pembersihan.
Lalu bagaimana cara kita akan melakukan CUCI GINJAL ini? Caranya mudah sekali • Pertama-tama sediakan seikat Seledri. • Cuci seledri sampai bersih, lalu dipotong kecil-kecil dan masukkan ke dalam panci. • Kemudian tuangkan air bersih dan didihkan selama sepuluh menit lalu biarkan dingin. • Kemudian saring dan tuangkan dalam botol yang bersih lalu simpan di dalam kulkas sampai dingin. • Minumlah satu gelas setiap hari dan Anda akan melihat semua akumulasi garam dan racun lain yang keluar dari ginjal Anda sewaktu buang air kecil. Jika anda melakukan ini, maka anda akan melihat perbedaan yang belum pernah anda rasakan sebelumnya. Daun seledri sendiri dikenal sebagai pengobatan terbaik untuk membersihkan ginjal dan itu ALAMI! Sebarkan informasi bermanfaat ini ke semua teman-teman anda. Mudah-mudahan bisa mencegah resiko penyakit yang buruk karena ginjal kita selalu sehat. Mengkritisi tulisan,
Walisongo utusan kehilafahan turki (utsmani). Maklumat Politik Indonesia Demografi dan seterusnya...... Masuknya Islam Melalui Khilafah Islam masuk ke Indonesia pada abad 7M (abad 1H), jauh sebelum penjajah datang. Islam terus berkembang dan mempengaruhi situasi politik ketika itu. Berdirilah kesultanan-kesultanan Islam seperti di Sumatera setidaknya diwakili oleh institusi kesultanan Peureulak (didirikan pada 1 Muharram 225H atau 12 November tahun 839M), (Daulah Abbasiyah 750 M s/d 1242 M, sedang menguasai Yarusalem 750 M s/d 969 M ) Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Palembang; Ternate, Tidore dan Bacan di Maluku (Islam masuk ke kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun 1440); ( Dinasti Turki 1299 s/d 1917 M.sedang Turki Usmani di Yerusalem 1512 M s/d 1520 M ) Kesultanan Sambas, Pontianak, Banjar, Pasir, Bulungan, Tanjungpura, Mempawah, Sintang dan Kutai di Kalimantan. Adapun kesultanan di Jawa antara lain: kesultanan Demak, Pajang, Cirebon dan Banten. Di Sulawesi, Islam diterapkan dalam institusi kerajaan Gowa dan Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu. Sementara di Nusa Tenggara penerapan Islam di sana dilaksanakan dalam institusi kesultanan Bima. Setelah Islam berkembang dan menjelma menjadi sebuah institusi maka hukum-hukum Islam diterapkan secara menyeluruh dan sistemik dalam kesultanan-kesultanan tersebut. Institusi politik yang ada di Nusantara ini kelihatan memiliki hubungan dengan Khilafah Islamiyah. Diantara yang menunjukkan hal ini adalah saat Islam masuk ke Indonesia diantara para pengemban dakwahnya merupakan utusan langsung yang dikirim oleh khalifah melalui walinya. Misalnya, pada tahun 808H/1404M pertama kali para ulama utusan Sultan Muhammad I (juga dikenal sebagai Sultan Muhammad Jalabi atau Celebi dari Kesultanan Utsmani) ke pulau Jawa (dan kelak dikenal dengan nama Walisongo).( 1404 M Sultan Muhammad I mengutus utusan Wali Songo ke P.Jawa ?) Setiap periode ada utusan yang tetap dan ada pula yang diganti. Pengiriman ini dilakukan selama lima periode. Kejanggalan-kejanggalan tulisan sejarah tersebut : Para ulama utusan Sultan Muhammad I (juga dikenal sebagai Sultan Muhammad Jalabi atau Celebi dari Kesultanan Utsmani) ke pulau Jawa (dan kelak dikenal dengan nama Walisongo).( 1404 M Sultan Muhammad I mengutus utusan Wali Songo ke P.Jawa ? Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim ahli tata pemerintahan negara dari Turki,dst..... Kejanggalan pertama. Sultan Muhammad I atau Mehmed I memerintah 1402 s/d 1421 M, sedang Maulana Malik Ibrahim mendarat di Gresik 1371 M, yg bedanya kalau kita menetapkan awal pemerintahan Sultan Muhammad I 1402-1371 = 31 tahun, yg jika dilihat wafatnya, memang ada persamaan thn kehidupannya selama 17 thn, 1419 – 1402 awal pemerintahan Sultan Muhammad I. Jadi ini merupakan kebohongan sejarah, kalau dikatan Sultan Muhammad I yg mengutus Maulana Malik Ibrahim ke Jawa. Kejanggalan kedua. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim ahli tata pemerintahan negara dari Turki...... Apa yg dikemukan disini meragukan, krn Maulana Malik Ibrahim berdasarkan pembacaan epigraf asal Perancis J.P.Moquette atas tulisan pada prasasti makam Syaikh Maulana Malik Ibrahim yg ditulis dlm De Datum op den Grafsteen van Malik Ibrahim te Grissee, disebutkan bahwa almarhum yg bernama Malik Ibrahim, yg wafat pd hari Senin 12 Rabiulawwal 822 H (8 April 1419 M ), berasal dari Kashan sebuah tempat di Parsi ( Iran). Dan ini banyak buku-buku sejarah yg mengungkapkan bhw beliau berasal dari Kashan Parsi. Dan ini bukti yg terang benderang yg dapat dibaca dari kuburan beliau. Dr. Muhammad Zafar Iqbal, Dosen Santra Persia Universitas Indonesia dlm bukunya Kafilah Budaya Pengaruh Persia Terhadap Kebudayaan Indonesia hal.53 menyatakan : Maulana Malik Ibrahim Kasyani al-Magribi al-Gujarati, yg masih keturunan Imam Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali bin Abi Thalib. Terdapat berbagai kissah seputar dirinya .Sebagian orang mengatakan bhw ia berasal dari Gujarat, India, sedangkan sebagian orang meyakinkan bahwa ia merasal dari Kasyan Iran. Menurut Babad ing Gresik, yg awal datang ke Gresik adalah dua bersaudara keturunan Arab, Maulana Mahfur dan Maulana Ibrahim dg tetuanya Sayyid Yusuf Mahrabi beserta 40 orang pengiring. Maulana Mahfur dan Maulana Ibrahim masih bersaudara dg raja Gedah. Mereka berlayar ke Jawa untuk menyebarkan agama Islam sambil berdagang. Mereka berlabuh di Gerwarasi atau Gresik pd thn 1293 Jawa/ 1371 M. Jadi 1371 M ini kedatangan di Jawa , sdng Sltan Muhammad I mulai berkuasa di Turki 1402 M. Yg mengutusnya belum berkuasa, yg diutus sudah 31 thn berdakwah, jadi mungkin rohnya yg mengutus ? Terjemahan lengkap inskripsi batu nisan Syaikh Maulana Malik Ibrahim menurut J.P.Moquette sebagai berikut : “Inilah makam almarhum al-maghfur, yg mengharap rahmat Allah Yg Maha Luhur, guru kebanggaan para pangeran, tongkat penopang para rajadan menteri, siraman bagi bagi kaum fakir dan miskin, syahid yg berbahagia dan lambang cemerlang negara dlm urusan agama : al-Malik Ibrahim yg terkenal dg nama Kakek Bantal yg berasal dari Kashan. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya dan menempatkannya dlm surga.Telah wafat pada hari Senin 12 Rabiulawwal 822 H / 8 April 1419 M.” Encyclopedia Islam Internasional yg ditulis oleh Iwan Gayo Glaxo, juga tidak memberikan kepastian, dimana Maulana Malik Ibrahim yang terkenal dimasyarakat Syaikh Maghribi yang dinisbatkan kepada Arab Maghrib di Afrika Utara sedang Babad Tanah Jawi versi J.J.,Meinsma menyebutnya dg nama Makhdum Ibrahim al-Samarkandi, krn diperkirakan berasal dan lahir di Samarkand. Samarkan sekarang adalah bekas jajahan Rusia, yg sekarang menjadi negara Uzbekistan.Wallahu A'lam, bagaimana pandangan Prof,Mansoer Soeryanegara ? SEJARAH WALI SONGO
Bisa dikatakan tak akan ada Islam di Indonesia tanpa peran khilafah. Orang sering mengatakan bahwa Islam di Indonesia, khususnya di tanah Jawa disebarkan oleh Walisongo. Tapi tak banyak orang tahu, siapa sebenarnya Walisongo itu? Dari mana mereka berasal? Tidak mungkin to mereka tiba-tiba ada, seolah turun dari langit? Dalam *kitab Kanzul Hum yang ditulis oleh Ibnu Bathuthah yang kini tersimpan di Museum Istana Turki di Istanbul, disebutkan bahwa Walisongo dikirim oleh Sultan Muhammad I. Awalnya, ia pada tahun 1404 M (808 H) mengirim surat kepada pembesar Afrika Utara dan Timur Tengah yang isinya meminta dikirim sejumlah ulama yang memiliki kemampuan di berbagai bidang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa* . Jadi, Walisongo sesungguhnya adalah para dai atau ulama yang diutus khalifah di masa Kekhilafahan Utsmani untuk menyebarkan Islam di Nusantara. Dan jumlahnya ternyata tidak hanya sembilan (Songo). Ada 6 angkatan yang masing-masing jumlahnya sekitar sembilan orang. Memang awalnya dimulai oleh angkatan I yang dipimpin oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim, asal Turki, pada tahun 1400 an. Ia yang ahli politik dan irigasi itu menjadi peletak dasar pendirian kesultanan di Jawa sekaligus mengembangkan pertanian di Nusantara. Seangkatan dengannya, ada dua wali dari Palestina yang berdakwah di Banten. Yaitu Maulana Hasanudin, kakek Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Aliudin. Jadi, masyarakat Banten sesungguhnya punya hubungan biologis dan ideologis dengan Palestina . Lalu ada Syekh Ja’far Shadiq dan Syarif Hidayatullah yang di sini lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati. Keduanya juga berasal dari Palestina. Sunan Kudus mendirikan sebuah kota kecil di Jawa Tengah yang kemudian disebut Kudus – berasal dari kata al Quds (Jerusalem) . Dari para wali itulah kemudian Islam menyebar ke mana-mana hingga seperti yang kita lihat sekarang. Oleh karena itu, sungguh aneh kalau ada dari umat Islam sekarang yang menolak khilafah. Itu sama artinya ia menolak sejarahnya sendiri, padahal nenek moyangnya mengenal Islam tak lain dari para ulama yang diutus oleh para khalifah . Islam masuk ke Indonesia pada abad 7M (abad 1H), jauh sebelum penjajah datang. Islam terus berkembang dan mempengaruhi situasi politik ketika itu. Berdirilah kesultanan-kesultanan Islam seperti di Sumatera setidaknya diwakili oleh institusi kesultanan Peureulak (didirikan pada 1 Muharram 225H atau 12 November tahun 839M), Samudera Pasai, Aceh Darussalam, Palembang; Ternate, Tidore dan Bacan di Maluku (Islam masuk ke kerajaan di kepulauan Maluku ini tahun 1440); Kesultanan Sambas, Pontianak, Banjar, Pasir, Bulungan, Tanjungpura, Mempawah, Sintang dan Kutai di Kalimantan . Adapun kesultanan di Jawa antara lain: kesultanan Demak, Pajang, Cirebon dan Banten. Di Sulawesi, Islam diterapkan dalam institusi kerajaan Gowa dan Tallo, Bone, Wajo, Soppeng dan Luwu. Sementara di Nusa Tenggara penerapan Islam di sana dilaksanakan dalam institusi kesultanan Bima. Setelah Islam berkembang dan menjelma menjadi sebuah institusi maka hukum-hukum Islam diterapkan secara menyeluruh dan sistemik dalam kesultanan-kesultanan tersebut . PERIODE DAKWAH WALI SONGO Kita sudah mengetahui bahwa mereka adalah Maulana Malik Ibrahim ahli tata pemerintahan negara dari Turki, Maulana Ishaq dari Samarqand yang dikenal dengan nama Syekh Awwalul Islam, Maulana Ahmad Jumadil Kubra dari Mesir, Maulana Muhammad al-Maghrabi dari Maroko, Maulana Malik Israil dari Turki, Maulana Hasanuddin dari Palestina, Maulana Aliyuddin dari Palestina, dan Syekh Subakir dari Persia. Sebelum ke tanah Jawa, umumnya mereka singgah dulu di Pasai. Adalah Sultan Zainal Abidin Bahiyan Syah penguasa Samudra Pasai antara tahun 1349-1406 M yang mengantar Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishaq ke Tanah Jawa . Pada periode berikutnya, antara tahun 1421-1436 M datang tiga da’i ulama ke Jawa menggantikan da’i yang wafat. Mereka adalah Sayyid Ali Rahmatullah putra Syaikh Ibrahim dari Samarkand (yang dikenal dengan Ibrahim Asmarakandi) dari ibu Putri Raja Campa-Kamboja (Sunan Ampel), Sayyid Ja’far Shadiq dari Palestina (Sunan Kudus), dan Syarif Hidayatullah dari Palestina cucu Raja Siliwangi Pajajaran (Sunan Gunung Jati) . Mulai tahun 1463M makin banyak da’i ulama keturunan Jawa yang menggantikan da’i yang wafat atau pindah tugas. Mereka adalah Raden Paku (Sunan Giri) putra Maulana Ishaq dengan Dewi Sekardadu, putri Prabu Menak Sembuyu, Raja Blambangan; Raden Said (Sunan Kalijaga) putra Adipati Wilatikta Bupati Tuban; Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang); dan Raden Qasim Dua (Sunan Drajad) putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati, putri Prabu Kertabumi Raja Majapahit . Banyaknya gelar Raden yang berasal dari kata Rahadian yang berarti Tuanku di kalangan para wali, menunjukkan bahwa dakwah Islam sudah terbina dengan subur di kalangan elit penguasa Kerajaan Majapahit. Sehingga terbentuknya sebuah kesultanan tinggal tunggu waktu . Hubungan tersebut juga nampak antara Aceh dengan Khilafah Utsmaniyah. Bernard Lewis menyebutkan bahwa pada tahun 1563M, penguasa Muslim di Aceh mengirim seorang utusan ke Istambul untuk meminta bantuan melawan Portugis sambil meyakinkan bahwa sejumlah raja di kawasan tersebut telah bersedia masuk agama Islam jika kekhalifahan Utsmaniyah mau menolong mereka . Saat itu kekhalifahan Utsmaniyah sedang disibukkan dengan berbagai masalah yang mendesak, yaitu pengepungan Malta dan Szigetvar di Hungaria, dan kematian Sultan Sulaiman Agung. Setelah tertunda selama dua bulan, mereka akhirnya membentuk sebuah armada yang terdiri dari 19 kapal perang dan sejumlah kapal lainnya yang mengangkut persenjataan dan persediaan untuk membantu masyarakat Aceh yang terkepung . Namun, sebagian besar kapal tersebut tidak pernah tiba di Aceh. Banyak dari kapal-kapal tersebut dialihkan untuk tugas yang lebih mendesak yaitu memulihkan dan memperluas kekuasaan Utsmaniyah di Yaman. Ada satu atau dua kapal yang tiba di Aceh. Kapal-kapal tersebut selain membawa pembuat senjata, penembak, dan teknisi juga membawa senjata dan peralatan perang lainnya, yang langsung digunakan oleh penguasa setempat untuk mengusir Portugis. Peristiwa ini dapat diketahui dalam berbagai arsip dokumen negara Turki . Hubungan ini nampak pula dalam penganugerahan gelar-gelar kehormatan diantaranya Abdul Qadir dari Kesultanan Banten misalnya, tahun 1048 H (1638 M) dianugerahi gelar Sultan Abulmafakir Mahmud Abdul Kadir oleh Syarif Zaid, Syarif Mekkah saat itu. Demikian pula Pangeran Rangsang dari Kesultanan Mataram memperoleh gelar Sultan dari Syarif Mekah tahun 1051 H (1641 M ) dengan gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarami. Pada tahun 1638 M, sultan Abdul Kadir Banten berhasil mengirim utusan membawa misi menghadap syarif Zaid di Mekah . Hasil misi ke Mekah ini sangat sukses, sehingga dapat dikatakan kesultanan Banten sejak awal memang meganggap dirinya sebagai kerajaan Islam, dan tentunya termasuk Dar al-Islam yang ada di bawah kepemimpinan Khalifah Turki Utsmani di Istanbul. Sultan Ageng Tirtayasa mendapat gelar sultan dari Syarif mekah . Hubungan erat ini nampak juga dalam bantuan militer yang diberikan oleh Khilafah Islamiyah. Dalam Bustanus Salatin karangan Nuruddin ar-Raniri disebutkan bahwa kesultanan Aceh telah menerima bantuan militer berupa senjata disertai instruktur yang mengajari cara pemakaiannya dari Khilafah Turki Utsmani (1300-1922) Bernard Lewis (2004) menyebutkan bahwa pada tahun 1563 penguasa Muslim di Aceh mengirim seorang utusan ke Istanbul untuk meminta bantuan melawan Portugis. Dikirimlah 19 kapal perang dan sejumlah kapal lainnya pengangkut persenjataan dan persediaan; sekalipun hanya satu atau dua kapal yang tiba di Aceh Tahun 1652 kesultanan Aceh mengirim utusan ke Khilafah Turki Utsmani untuk meminta bantuan meriam. Khilafah Turki Utsmani mengirim 500 orang pasukan orang Turki beserta sejumlah besar alat tembak (meriam) dan amunisi. Tahun 1567, Sultan Salim II mengirim sebuah armada ke Sumatera, meski armada itu lalu dialihkan ke Yaman. Bahkan Snouck Hourgroye menyatakan, “Di Kota Makkah inilah terletak jantung kehidupan agama kepulauan Nusantara, yang setiap detik selalu memompakan darah segar8 ke seluruh penduduk Muslimin di Indonesia.” Bahkan pada akhir abad 20, Konsul Turki di Batavia membagi-bagikan al-Quran atas nama Sultan Turki Di istambul juga dicetak tafsir al-Quran berbahasa melayu karangan Abdur Rauf Sinkili yang pada halaman depannya tertera “dicetak oleh Sultan Turki, raja seluruh orang Islam”. Sultan Turki juga memberikan beasiswa kepada empat orang anak keturunan Arab di Batavia untuk bersekolah di Turki Pada masa itu, yang disebut-sebut Sultan Turki tidak lain adalah Khalifah, pemimpin Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki. Selain itu, Snouck Hurgrounye sebagaimana dikutip oleh Deliar Noer mengungkapkan bahwa rakyat kebanyakan pada umumnya di Indonesia, terutama mereka yang tinggal di pelosok-pelosok yang jauh di penjuru tanah air, melihat stambol (Istambul, kedudukan Khalifah Usmaniyah) masih senantiasa sebagai kedudukan seorang raja semua orang mukmin yang kekuasaannya mungkin agaknya untuk sementara berkurang oleh adanya kekuasaan orang-orang kafir, tetapi masih dan tetap [dipandang] sebagai raja dari segala raja di dunia. Mereka juga berpikir bahwa “sultan-sultan yang belum beragama mesti tunduk dan memberikan penghormatannya kepada khalifah.” Demikianlah, dapat dikatakan bahwa Islam berkembang di Indonesia dengan adanya hubungan dengan Khilafah Turki Utsmani Dengan demikian, keterkaitan Nusantara sebagai bagian dari Khilafah, baik saat Khilafah Abbasiyah Mesir dan Khilafah Utsmaniyah telah nampak jelas pada pengangkatan Meurah Silu menjadi Sultan Malikussaleh di Kesultanan Samudra-Pasai Darussalam oleh Utusan Syarif Mekkah, dan pengangkatan Sultan Abdul Kadir dari Kesultanan Banten dan Sultan Agung dari Kesultanan Mataram oleh Syarif Mekkah Dengan mengacu pada format sistem kehilafahan saat itu, Syarif Mekkah adalah Gubernur (wali) pada masa Khilafah Abbasiyah dan Khilafah Utsmaniyah untuk kawasan Hijaz. Jadi, wali yang berkedudukan di Mekkah bukan semata penganugerahan gelar melainkan pengukuhannya sebagai sultan. Sebab, sultan artinya penguasa. Karenanya, penganugerahan gelar sultan oleh wali lebih merupakan pengukuhan sebagai penguasa Islam. Sementara itu, kelihatan Aceh memiliki hubungan langsung dengan pusat khilafah Utsmaniyah di Turki #KESIMPULAN Jumlah dai yang diutus ini tidak hanya sembilan (Songo). Bahkan ada 6 angkatan yang dikirimkan, masing-masing jumlanya sekitar sembilan orang. (Versi lain mengatakan 7 bahkan 10 angkatan karena dilanjutkan oleh anak / keturunannya) Para Wali ini datang dimulai dari Maulana Malik Ibrahim, asli Turki. Beliau ini ahli politik & irigasi, wafat di Gresik. - Maulana Malik Ibrahim ini menjadi peletak dasar pendirian kesultanan di Jawa sekaligus mengembangkan pertanian di Nusantara. - Seangkatan dengan beliau ada 2 wali dari Palestina yg berdakwah di Banten; salah satunya Maulana Hasanudin, beliau kakek Sultan Ageng Tirtayasa. - Juga Sultan Aliyudin, beliau dari Palestina dan tinggal di Banten. Jadi masyarakat Banten punya hubungan darah & ideologi dg Palestina. - Juga Syaikh Ja'far Shadiq & Syarif Hidayatullah; dikenal disini sebagai Sunan Kudus & Sunan Gunung Jati; mereka berdua dari Palestina. - Maka jangan heran, Sunan Kudus mendirikan Kota dengan nama Kudus, mengambil nama Al-Quds (Jerusalem) & Masjid al-Aqsha di dalamnya. (Sumber Muhammad Jazir, seorang budayawan & sejarawan Jawa , Pak Muhammad Jazir ini juga penasehat Sultan Hamengkubuwono X). Adapun menurut Berita yang tertulis di dalam kitab Kanzul ‘Hum karya Ibnul Bathuthah, yang kemudiah dilanjutkan oleh Syekh Maulana Al Maghribi. Sultan Muhammad I itu membentuk tim beranggotakan 9 orang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa dimulai pada tahun 1404. Tim tersebut diketuai oleh Maulana Malik Ibrahim yang merupakan ahli mengatur negara dari Turki. Wali Songo Angkatan Ke-1, tahun 1404 M/808 H. Terdiri dari: 1. Maulana Malik Ibrahim, berasal dari Turki, ahli mengatur negara. 2. Maulana Ishaq, berasal dari Samarkand, Rusia Selatan, ahli pengobatan. 3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, dari Mesir. 4. Maulana Muhammad Al Maghrobi, berasal dari Maroko. 5. Maulana Malik Isro’il, dari Turki, ahli mengatur negara. 6. Maulana Muhammad Ali Akbar, dari Persia (Iran), ahli pengobatan. 7. Maulana Hasanudin, dari Palestina. 8. Maulana Aliyudin, dari Palestina. 9. Syekh Subakir, dari Iran, Ahli ruqyah. Wali Songo Angkatan ke-2, tahun 1436 M, terdiri dari : 1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan 2. Maulana Ishaq, asal Samarqand, Rusia Selatan 3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir 4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko 5. Sunan Kudus, asal Palestina 6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina 7. Maulana Hasanuddin, asal Palestina 8. Maulana 'Aliyuddin, asal Palestina 9. Syekh Subakir, asal Persia Iran. Wali Songo Angkatan ke-3, 1463 M, terdiri dari: 1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan 2. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim 3. Maulana Ahmad Jumadil Kubro, asal Mesir 4. Maulana Muhammad Al-Maghrabi, asal Maroko 5. Sunan Kudus, asal Palestina 6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina 7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim 8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim 9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim Wali Songo Angkatan ke-4,1473 M, terdiri dari : 1. Sunan Ampel, asal Champa, Muangthai Selatan 2. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim 3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak 4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon 5. Sunan Kudus, asal Palestina 6. Sunan Gunung Jati, asal Palestina 7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim 8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim 9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim Wali Songo Angkatan ke-5,1478 M, terdiri dari : 1. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim 2. Sunan Muria, asal Gunung Muria, Jawa Tengah 3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak 4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon 5. Sunan Kudus, asal Palestina 6. Syaikh Siti Jenar, asal Persia, Iran 7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim 8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim 9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatimu Wali Songo Angkatan ke-6,1479 M, terdiri dari : 1. Sunan Giri, asal Belambangan,Banyuwangi, Jatim 2. Sunan Muria, asal Gunung Muria, Jawa Tengah 3. Raden Fattah, asal Majapahit, Raja Demak 4. Fathullah Khan (Falatehan), asal Cirebon 5. Sunan Kudus, asal Palestina 6. Sunan Tembayat, asal Pandanarang 7. Sunan Bonang, asal Surabaya, Jatim 8. Sunan Derajat, asal Surabaya, Jatim 9. Sunan Kalijaga, asal Tuban, Jatim Shaykh Murabit al-Hajj is a master of the sciences of Islam, but perhaps more wondrous than that, he has mastered his own soul. His discipline is almost angelic, and his presence is so majestic and ethereal that the one in it experiences a palpable stillness in the soul. Shaykh Murabit al Hajj’s birth name is Sidi Muhammad bin Salek bin Fahfu. He is from the Massumi clan who trace their lineage back to the Himyar clan of Yemen. He is a descendant of a long line of scholars and is renowned throughout Mauritania for his knowledge and piety. After studying at the school of his father, he decided to perform the Hajj pilgrimage and at the age of nineteen, set out to Mecca from Mauritania for a trip that would total three years. He traveled by foot crossing Mali, Niger, Chad, and the Sudan and then by boat to Yemen where he then made his way to Mecca, spending time along the way teaching in many areas. He was offered a position of teaching in Mecca and although he had a great love to live in the city of the Prophet (peace and blessings be upon him), he did not think he could assume the right of being a neighbor to the Best of Creation (peace and blessings be upon him). Upon his return, he spent most of his time in solitude; worshiping through prayers, fasting, and reading the Book of Allah. Staying near the encampment, he rarely interacted with people and had his food and drink brought to him. It was only after students came to sit with him upon hearing about his knowledge that he left his solitary worship. Subsequently, he spent most of his time teaching with little time for family, sleep, and other basic needs. He would teach late into the night by the fire light and then get up in the last part of the night to pray. However, if a student came for a lesson, the Shaykh would quicken or give up this time for prayer, as well as all other types of extra devotional practices. He has continued this way of life up until the present day where he still teaches, and the only thing that has slowed him down, although not considerably, is old age as he is about 100 years old. May Allah give him a long life to continue benefiting the Community of the Prophet (peace and blessing be upon him). Through his perseverance and sacrifice, Murabit al Hajj has produced many scholars, some of whom are his own children and relatives. At his present school, his cousin Shaykh Muhammad al Ameen, his son, Muhammad Tahir, and his grandson, Shaykh Abdullah bin Ahmadna lecture alongside him to provide a comprehensive system teaching the necessary sciences. A day in the life of The Legendary Shaykh Murabit Al-hajj | Scholar Of Our Times: During the blessed time that I was fortunate to have lived with him in his own tent, I observed his daily routine: He would usually awake at about 2:30 or 3:00 in the morning and begin the Tahajjud or night prayers. He would often recite for a few hours, and I heard him repeat verses over and over again and weep. Just before dawn, he would sit outside his tent and recite Qur’an, and then when the first light of dawn was discernible, he would walk to the open-air mosque and call the adhan. He would then pray his nafilah and wait for a short period and then call the iqamah. During that time, I never saw anyone else lead the prayer, and he would almost always recite from the last 60th of the Qur’an as is the Sunnah for a congressional Imam to do so according to Imam Malik. After the sun rose and reached the level of a spear above the horizon, he would pray the sunrise rak’ahs and then return to his tent where he would have some milk brought fresh from a cow. He would then teach until about 11:00 in the morning and nap for a short while. After that, students would start coming again, and he would continue to teach until about 1:00pm at which time he would measure his shadow for the time of the midday prayer. He would then call the adhan at the time his shadow reached an arm’s length past the post meridian time as is the Maliki position on the midday prayer, if performed in congregation, to allow for others to come from their work after the heat dissipates. He would always pray four rakahs before and after the midday prayer and then return to his tent where he would teach until afternoon. He would usually have a small amount of rice and yogurt drink that is common in West Africa. Then, he would measure his shadow for the afternoon prayer, and when he ascertained its time, he would proceed to the mosque and call the adhan. After Asr, Murabit al-Hajj would return to his tent and usually resume teaching and sometimes listen to students recite their Qur’an lessons from memory and he would correct their mistakes. During any lulls in his teaching, anyone in his presence could hear him say with almost every breath, “La ilaha illa Allah,” or he would recite Qur’an. At sunset, he would go and call the adhan, pray Maghrib, and then sit in the mihrab and recite his wird until the time of the night prayer. He would call the adhan, lead the pray and return to his tent. He would usually have some milk and a little couscous and then listen to students recite Qur’an or read Qur’an by himself. At around 9:00 pm whe would admonish himself with lines of poetry form Imam Shafi’s Diwan and other well-known poets. He would often remember death with certain line that he repeated over and over again, especially the following that I heard him many times: O my Lord, when that which there is repelling alights upon me, And I find myself leaving this adobe And become Your guest in a dark and lonely place, Then make the host’s meal for his guest the removal of my wrongs. A guest is always honored at the hands of a generous host, And You are the Generous, the Creator, the Originiator. Surely kings, as a way of displaying their magnanimity Free their servants who have grown old in their service. And I have grown old in Your service, So free my soul from the Fire Ini foto rumah dan masjid beliau.... ini ditahun 1997 ! Syekh Abul Muhyi adalah seorang ulama penyebar Islam di Jawa Barat yang sekarang berada di sekitar Garut dan Tasikmalaya. Sudah cukup lama mengetahui keberadaan beliau, namun baru saja mengetahui bahwa beliau seperguruan dengan ulama penyebar islam di Minangkabau - Burhanudin Ulakan. Begitu juga Syekh Yusul Tajul Khalwati dari Makasar juga berguru kepada Syekh Abudrauf al Fanshuri Sinkil.
Berikut ini link manaqib Syeh Abdul Muhyi.. Bagi orang Minang sudah tidak asing lagi dengan istilah adat basandi syarak. Berikut ini sedikit sejarah cikal bakal terwujudnya isitilah tersebut -
MENGENANG SEJARAH SYEIKH BURHANUDDIN ULAKAN (1649-1692 M./1056-1111H) Masya Allah... Alhamdulillah dibukakan tabir sejarah yang terpendam ni. |
Jody JoezarLives in Jakarta, Idonesia loves nature and life Categories |